SALMAN
AL-FARISI
Assalamualaikum
saudaraku. Kini kami ingin berbagi kisah tentang Salman Al-Farisi. Kami
mengambil kisahnya dari buku berjudul Biografi
60 Sahabat Nabi, yang ditulis oleh Khalid Muhammad Khalid, yang dikenal
sebagai pemikir Islam kontemporer asal Mesir.
Mari
kita lihat sepotong kisah tentang Salman Al-Farisi, dan langsung saja kita
persilahkan ia yang menceritakannya langsung kepada kita.
“Aku
berasal dari Asbahan, warga suatu desa yang bernama Ji (Jayyan). Ayahku seorang
kepala kampung di daerah itu, dan aku merupakan hamba Allah yang paling disayang
olehnya. Aku sangat taat menjalani agama Majusi, hingga akhirnya diserahi tugas
sebagai penjaga api yang bertanggung jawab atas nyalanya dan tidak
membiarkannya padam.
Ayahku
memiliki sebidang tanah. Suatu hari aku disuruhnya ke sana. Dalam perjalanan
ketempat tujuan, aku melewati sebuah gereja milik kaum Nasrani. Aku mendengar
mereka sedang mengadakan “Kebaktian”, lalu aku masuk ke dalam untuk melihat apa
yang mereka lakukan.
Aku
kagum melihat cara mereka beribadah. Aku berkata di dalam hati, ‘Ini lebih baik daripada apa yang aku anut
selama ini.’ Aku tidak beranjak dari tempat itu hingga matahari terbenam,
dan tidak jadi pergi ke tanah milik ayahku serta tidak pula kembali pulang,
hingga ayah mengirim orang untuk menyusulku. Karena agama mereka menarik
perhatianku, aku menanyakan kepada orang-orang Nasrani dari mana asal-usul
agama mereka. Mereka menjawab, ‘Dari Syria.’
Ketika
aku telah berada di hadapan ayahku, aku bercerita kepadanya, ‘Aku tadi melewati suatu kaum yang sedang
melakukan upacara peribadatan di gereja. Upacaranya sangat memikat hatiku. Aku
merasa agama mereka lebih baik dari agama kita.’ Setelah itu kami berdebat
dan akhirnya kakiku diikat dan aku dipenjarakan.
Aku
mengirim berita kepada orang-orang Nasrani bahwa aku telah menganut agama
mereka. Aku juga berpesan bila rombongan dari Syria datang, aku hendaknya dikabari
sebelum mereka kembali, karena aku akan ikut bersama mereka ke sana. Permintaanku
itu mereka kabulkan.
Aku
memutus rantai yang membelenggu kakidan meloloskan diri dari penjara, lalu
bergabung dengan rombongan itu menuju Syria. Ketika telah tiba di tempat
tujuan, aku menanyakan siapakah ahli dalam agama itu. Ada seseorang mengatakan
kepadaku bahwa orang yang aku maksud adalah uskup, pemilik gereja. Aku pun
mendatanginya dan menceritakan keadaaku.
Akhirnya
aku tinggal bersamanya sebagai pelayan, sekaligus melaksanakan ajaran mereka
dan belajar. Namun, uskup ini adalah sosok yang tidak baik dalam menjalankan
ajaran agamanya. Pasalnya ia mengumpulkan sedeka dari orang-orang dengan alas
an untuk dibagikan, namun ternyata disimpan untuk dirinya pribadi.
Kemudian
uskup itu wafat. Orang-orang mengangkat orang lain sebagai gantinya, dan aku
berpikir tidak ada seorang pun yang lebih baik agamanya daripada uskup baru
ini. Aku pun mencintainya demikian rupa, sehingga hatiku merasa tidak ada orang
yang lebih kucintai sebelum itu daripada dirinya.
Tatkala
ajalnya telah dekat, aku bertanya kepadanya, ‘Seperti yang Anda ketahui, takdir
Allah atas diri Anda telah dekat masanya. Apakah yang harus aku lakukan dan
siapakah sebaiknya yang harus kuhubugngi?’ Ia menjawab, ‘Anakku, tidak seorang
pun menurut pengetahuanku yang sama langkahnya dengan aku, kecuali seorang
pemimpin yang tinggal di Mosul.’
Ketika
ia wafat, aku berangkat ke Mosul dan menghubungi pendeta yang disebutkannya. Aku
menceritakan kepadanya pesan dari uskup tadi dan aku tinggal bersamanya selama
waktu yang dikehendaki Allah.
Kemudiam
tatkala ajalnya telah dekat pula, kutanyakan kepadanya, siapa yang harus aku
ikuti. Ia pun menunjukan kepadaku seorang yang saleh yang tinggal di Nashibin. Aku
mendatanginya dan menceritakan keadaanku, lalu tinggal bersamanya selama waktu
yang dikehendaki Allah.
Ketika
ia telah mendekati ajalnya, aku menanyakan hal yang sama kepadanya. Aku diperintahkan
olehnya agar menghubungi seorang pemimpin yang tinggal di Amuria, suatu kota
yang termasuk wilayah Romawi. Aku berangkat kesana dan tinggal bersamanya.
Sebagai bekal hidup, aku beternak dapi dan beberapa ekor kambing.
Saat
ajal hampir menjemputnya, aku pun menanyakan kepadanya, ‘Siapakah yang engkau wasiatkan agar aku mengikutinya?’ Ia
menjawab, ‘Anakku, tidak ada seorang pun
yang kukenal serupa dengan kita keadaannya dan dapat kupercayakan engkau kepadanya.
Tetapi, sekarang telah dekat datangnya masa kebangkitan seorang nabi yang
mengikuti agama Ibrahim yang lurus. Ia nanti akan hijrah ke suatu tempat yang
ditumbuhi kurma dan terletak di antara dua bidang tanah berbatu hitam.
Seandainya kamu dapat pergi ke sana, temuilah dia. Ia mempunyai tanda-tanda
yang jelas dan gambblang: ia tidak mau makan sedekah, namun bersedia menerima
hadiah, dan di pundaknya ada cap kenabian yang bila engkau melihatnya, engkau
pasti mengenalinya.’
Suatu
hari, suatu rombongan datang, lalu aku menanyakan dari mana asal mereka.
Akhirnya aku mendapatkan jawaban bahwa mereka berasal dari Jazirah Arab, maka aku
katakana kepada mereka, ‘Maukah kalian
membawaku ke negeri kalian, dan sebagai imbalannya kuberikan kepada kalian
sapi-sapi dan kambing-kambing ini?’ Mereka menjawab ‘Baiklah.’
Akhirnya
mereka membawaku ikut dalam perjalanan hingga sampai di suatu negeri yang
bernama Wadil Qura. Di tempat itulah mereka menzalimi diriku. Mereka menjualku kepada
seorang Yahudi. Ketika tampak olehku pohon kurma, aku berharap kiranya negeri
ini yang disebutkan pendeta kepadaku dulu, yakni yang akan menjadi tempat hijrah
Nabi yang ditunggu. Ternyata dugaanku tidak benar.
Mulai
saat itu aku tinggal bersama orang yang membeliku, hingga suatu hari datang
seorang Yahudi Bani Quraizhah yang membeliku dari yang membeliku sebelumnya. Aku
dibawanya ke Madinah, dan – demi Allah – baru saja kulihat negeri itu, aku pun
yakin itulah negeri yang disebutkan dulu.
Aku
tinggal bersama orang Yahudi tersebut dan bekerja di perkebunan kurma milik
Bani Quraizhah, hingga tiba waktu Allah mengutus Rasul-Nya, lalu hijrah ke
Madinah dan singgah di Bani Amr bin Auf di Quba’.
Suatu
hari ketika aku berada di puncak pohon kurma sementara majikanku duduk di
bawahnya, tiba-tiba seorang Yahudi saudara sepupunya datang menghampirinya dan
mengatakan, ‘Celakalah Bani Qailah!
Mereka berkerumun mengelilingi seorang laki-laki di Quba’ yang datang dari
Mekkah dan mengaku sebagai nabi.’
Demi
Allah, tubuhku bergetar hebat seketika mendengar ucapan orang itu hingga pohon
kurma itu bagai berguncang dan hampir saja aku jatuh menimpa manjikanku. Aku
segera turun dan berkata, ‘Apa katamu?
Ada berita apakah?’
Majikanku
mengangkat tangan lalu meninjuku sekuatnya, dan membentak, ‘Apa urusanmu dengan ini, kembalilah
bekerja!’ Aku pun kembali bekerja.
Setelah
hari petang, aku mengumpulkan segala yang ada padaku, lalu keluar untuk menemui
Rasulullah saw., di Quba’. Aku menjumpai beliau ketika sedang duduk bersama
beberapa orang anggota rombongan. Lalu berkata kepadanya, ‘Tuan-tuan adalah perantau yang sedang dalam kebutuhan. Kebetulan aku
mempunyai persediaan makanan yang telah kuniatkan untuk sedekah. Setelah
mendengar keadaan tuan-tuan, aku berpikir bahwa tuan-tuanlah yang lebih layak
menerimanya, dan makanan itu kubawa kesini.’ Aku pun meletakkan makanan itu
dihadapan beliau.
“Makanlah dengan menyebut nama Allah,” sabda
Rasulullah saw., kepada para sahabatnya. Tetapi, beliau tidak mengulurkan
tangannya untuk menjamah makanan itu. Aku berkata dalam hati, ‘Demi Allah inilah satu dari tanda-tandanya,
ia tidak mau memakan harta sedekah.’
Setelah
itu aku pulang dan keesokan harinya aku kembali menemui Rasulullah saw., sambil
membawa makanan. Aku berkata kepadanya, ‘Aku
melihat tuan tidak sudi memakan sedekah, tetapi aku mempunyai sesuatu yang
ingin kuserahkan kepada tuan sebagai hadiah.’ Kemudian aku meletakkan
makanan itu dihadapan beliau. “Makanlah
dengan menyebut nama Allah,” sabda beliau kepada sahabat, dan beliau pun
turut makan bersama mereka. Aku kembali berbisik ‘Demi Allah, inilah tanda-tanda yang kedua, bahwa ia bersedia menerima
hadiah.’
Setelah
itu aku pulang dan tinggal ditempatku
setelah beberapa lama. Kemudian aku pergi mencari Rasulullah saw., dan berjumpa
di Baqi’, saat sedang mengiring jenazah dan dikelilingi oleh
sahabat-sahabatnya. Beliau memakai dua lembar kain lebar, yang satu dipakainya
untuk sarung dan satu dipakainya untuk baju.
Aku
mengucapkan salam kepada beliau dan kemudian menyejajarkan tubuhku di dekat
beliau untuk melihat bagian atas punggungnya. Ternayat beliau memahami
keinginanku dan menyingkap kain burdah beliau dari lehernya hingga tampak pada
pundaknya tanda yang kucari, yaitu cap kenabian seperti disebutkan oleh pendeta dulu. Aku pun langsung
membalikkan badan dan menciuminya sambil menangis.
Kemudian
Rasulullah saw., memanggilku. Akku duduk di hadapan beliau dan menceritakan kisahku seperti yang telah
kuceritakan tadi. Kemudian aku masuk Islam, dan perbudakan menjadi penghalang
bagiku untuk menyertai Perang Badar dan Uhud.
Suatu
hari, Rasulullah saw., bersabda kepdaku,
‘Mintalah keapda majikanmu agar ia
bersedia membebaskanmu dengan menerima uang tebusan.’ Aku pun meminta
kepada majikanku agar aku dibebaskan sebagaimana dititahkan oleh Rasulullah
saw., sedangkan beliau menyuruh para sahabat untuk membantuku dalam persoalan
keuuangan. Akhirnya, aku dimerdekakan oleh Allah, dan hidup sebagai seorang
muslim yang bebsa merdeka, serta mengambil bagian bersama Rasulullah saw.,
dalam perang Khandaq dan peperangan selanjutnya.”
Begitulah
saudaraku. Kisah tentang perjalanan Salman Al-Farisi yang kami ambil dari buku Biografi 60 Sahabat Nabi. Kisah ini
disebutkan di dalam Ath-Thabaqat
Al-Kubra, Ibnu Sa’ad, juz IV.
Jika
kalian penasaran mengenai kisah-kisah para sahabat Rasulullah saw., yang
lainnya, kalian bisa membacanya pada buku tersebut di toko buku kesayangan
kalian.
Semoga
kisah yang kami berikan tadi dapat memberikan pelajaran dan menambah keimanan
kita semua. Aamiin.
Sumber :
Khalid, Khalid Muhammad. 2015. Biografi 60 Sahabat Nabi. Jakarta. Ummul
Qura.
0 komentar:
Posting Komentar