SALMAN AL-FARISI

| Minggu, 20 November 2016


SALMAN AL-FARISI

     Assalamualaikum saudaraku. Kini kami ingin berbagi kisah tentang Salman Al-Farisi. Kami mengambil kisahnya dari buku berjudul Biografi 60 Sahabat Nabi, yang ditulis oleh Khalid Muhammad Khalid, yang dikenal sebagai pemikir Islam kontemporer asal Mesir.
     Mari kita lihat sepotong kisah tentang Salman Al-Farisi, dan langsung saja kita persilahkan ia yang menceritakannya langsung kepada kita.

“Aku berasal dari Asbahan, warga suatu desa yang bernama Ji (Jayyan). Ayahku seorang kepala kampung di daerah itu, dan aku merupakan hamba Allah yang paling disayang olehnya. Aku sangat taat menjalani agama Majusi, hingga akhirnya diserahi tugas sebagai penjaga api yang bertanggung jawab atas nyalanya dan tidak membiarkannya padam.
Ayahku memiliki sebidang tanah. Suatu hari aku disuruhnya ke sana. Dalam perjalanan ketempat tujuan, aku melewati sebuah gereja milik kaum Nasrani. Aku mendengar mereka sedang mengadakan “Kebaktian”, lalu aku masuk ke dalam untuk melihat apa yang mereka lakukan.
Aku kagum melihat cara mereka beribadah. Aku berkata di dalam hati, ‘Ini lebih baik daripada apa yang aku anut selama ini.’ Aku tidak beranjak dari tempat itu hingga matahari terbenam, dan tidak jadi pergi ke tanah milik ayahku serta tidak pula kembali pulang, hingga ayah mengirim orang untuk menyusulku. Karena agama mereka menarik perhatianku, aku menanyakan kepada orang-orang Nasrani dari mana asal-usul agama mereka. Mereka menjawab, ‘Dari Syria.’
Ketika aku telah berada di hadapan ayahku, aku bercerita kepadanya, ‘Aku tadi melewati suatu kaum yang sedang melakukan upacara peribadatan di gereja. Upacaranya sangat memikat hatiku. Aku merasa agama mereka lebih baik dari agama kita.’ Setelah itu kami berdebat dan akhirnya kakiku diikat dan aku dipenjarakan.
Aku mengirim berita kepada orang-orang Nasrani bahwa aku telah menganut agama mereka. Aku juga berpesan bila rombongan dari Syria datang, aku hendaknya dikabari sebelum mereka kembali, karena aku akan ikut bersama mereka ke sana. Permintaanku itu mereka kabulkan.
Aku memutus rantai yang membelenggu kakidan meloloskan diri dari penjara, lalu bergabung dengan rombongan itu menuju Syria. Ketika telah tiba di tempat tujuan, aku menanyakan siapakah ahli dalam agama itu. Ada seseorang mengatakan kepadaku bahwa orang yang aku maksud adalah uskup, pemilik gereja. Aku pun mendatanginya dan menceritakan keadaaku.
Akhirnya aku tinggal bersamanya sebagai pelayan, sekaligus melaksanakan ajaran mereka dan belajar. Namun, uskup ini adalah sosok yang tidak baik dalam menjalankan ajaran agamanya. Pasalnya ia mengumpulkan sedeka dari orang-orang dengan alas an untuk dibagikan, namun ternyata disimpan untuk dirinya pribadi.
Kemudian uskup itu wafat. Orang-orang mengangkat orang lain sebagai gantinya, dan aku berpikir tidak ada seorang pun yang lebih baik agamanya daripada uskup baru ini. Aku pun mencintainya demikian rupa, sehingga hatiku merasa tidak ada orang yang lebih kucintai sebelum itu daripada dirinya.
Tatkala ajalnya telah dekat, aku bertanya kepadanya, ‘Seperti yang Anda ketahui, takdir Allah atas diri Anda telah dekat masanya. Apakah yang harus aku lakukan dan siapakah sebaiknya yang harus kuhubugngi?’ Ia menjawab, ‘Anakku, tidak seorang pun menurut pengetahuanku yang sama langkahnya dengan aku, kecuali seorang pemimpin yang tinggal di Mosul.’
Ketika ia wafat, aku berangkat ke Mosul dan menghubungi pendeta yang disebutkannya. Aku menceritakan kepadanya pesan dari uskup tadi dan aku tinggal bersamanya selama waktu yang dikehendaki Allah.
Kemudiam tatkala ajalnya telah dekat pula, kutanyakan kepadanya, siapa yang harus aku ikuti. Ia pun menunjukan kepadaku seorang yang saleh yang tinggal di Nashibin. Aku mendatanginya dan menceritakan keadaanku, lalu tinggal bersamanya selama waktu yang dikehendaki Allah.
Ketika ia telah mendekati ajalnya, aku menanyakan hal yang sama kepadanya. Aku diperintahkan olehnya agar menghubungi seorang pemimpin yang tinggal di Amuria, suatu kota yang termasuk wilayah Romawi. Aku berangkat kesana dan tinggal bersamanya. Sebagai bekal hidup, aku beternak dapi dan beberapa ekor kambing.
Saat ajal hampir menjemputnya, aku pun menanyakan kepadanya, ‘Siapakah yang engkau wasiatkan agar aku mengikutinya?’ Ia menjawab, ‘Anakku, tidak ada seorang pun yang kukenal serupa dengan kita keadaannya dan dapat kupercayakan engkau kepadanya. Tetapi, sekarang telah dekat datangnya masa kebangkitan seorang nabi yang mengikuti agama Ibrahim yang lurus. Ia nanti akan hijrah ke suatu tempat yang ditumbuhi kurma dan terletak di antara dua bidang tanah berbatu hitam. Seandainya kamu dapat pergi ke sana, temuilah dia. Ia mempunyai tanda-tanda yang jelas dan gambblang: ia tidak mau makan sedekah, namun bersedia menerima hadiah, dan di pundaknya ada cap kenabian yang bila engkau melihatnya, engkau pasti mengenalinya.’
Suatu hari, suatu rombongan datang, lalu aku menanyakan dari mana asal mereka. Akhirnya aku mendapatkan jawaban bahwa mereka berasal dari Jazirah Arab, maka aku katakana kepada mereka, ‘Maukah kalian membawaku ke negeri kalian, dan sebagai imbalannya kuberikan kepada kalian sapi-sapi dan kambing-kambing ini?’ Mereka menjawab ‘Baiklah.’
Akhirnya mereka membawaku ikut dalam perjalanan hingga sampai di suatu negeri yang bernama Wadil Qura. Di tempat itulah mereka menzalimi diriku. Mereka menjualku kepada seorang Yahudi. Ketika tampak olehku pohon kurma, aku berharap kiranya negeri ini yang disebutkan pendeta kepadaku dulu, yakni yang akan menjadi tempat hijrah Nabi yang ditunggu. Ternyata dugaanku tidak benar.
Mulai saat itu aku tinggal bersama orang yang membeliku, hingga suatu hari datang seorang Yahudi Bani Quraizhah yang membeliku dari yang membeliku sebelumnya. Aku dibawanya ke Madinah, dan – demi Allah – baru saja kulihat negeri itu, aku pun yakin itulah negeri yang disebutkan dulu.
Aku tinggal bersama orang Yahudi tersebut dan bekerja di perkebunan kurma milik Bani Quraizhah, hingga tiba waktu Allah mengutus Rasul-Nya, lalu hijrah ke Madinah dan singgah di Bani Amr bin Auf di Quba’.
Suatu hari ketika aku berada di puncak pohon kurma sementara majikanku duduk di bawahnya, tiba-tiba seorang Yahudi saudara sepupunya datang menghampirinya dan mengatakan, ‘Celakalah Bani Qailah! Mereka berkerumun mengelilingi seorang laki-laki di Quba’ yang datang dari Mekkah dan mengaku sebagai nabi.’
Demi Allah, tubuhku bergetar hebat seketika mendengar ucapan orang itu hingga pohon kurma itu bagai berguncang dan hampir saja aku jatuh menimpa manjikanku. Aku segera turun dan berkata, ‘Apa katamu? Ada berita apakah?’
Majikanku mengangkat tangan lalu meninjuku sekuatnya, dan membentak, ‘Apa urusanmu dengan ini, kembalilah bekerja!’ Aku pun kembali bekerja.
Setelah hari petang, aku mengumpulkan segala yang ada padaku, lalu keluar untuk menemui Rasulullah saw., di Quba’. Aku menjumpai beliau ketika sedang duduk bersama beberapa orang anggota rombongan. Lalu berkata kepadanya, ‘Tuan-tuan adalah perantau yang sedang dalam kebutuhan. Kebetulan aku mempunyai persediaan makanan yang telah kuniatkan untuk sedekah. Setelah mendengar keadaan tuan-tuan, aku berpikir bahwa tuan-tuanlah yang lebih layak menerimanya, dan makanan itu kubawa kesini.’ Aku pun meletakkan makanan itu dihadapan beliau.
Makanlah dengan menyebut nama Allah,” sabda Rasulullah saw., kepada para sahabatnya. Tetapi, beliau tidak mengulurkan tangannya untuk menjamah makanan itu. Aku berkata dalam hati, ‘Demi Allah inilah satu dari tanda-tandanya, ia tidak mau memakan harta sedekah.’
Setelah itu aku pulang dan keesokan harinya aku kembali menemui Rasulullah saw., sambil membawa makanan. Aku berkata kepadanya, ‘Aku melihat tuan tidak sudi memakan sedekah, tetapi aku mempunyai sesuatu yang ingin kuserahkan kepada tuan sebagai hadiah.’ Kemudian aku meletakkan makanan itu dihadapan beliau. “Makanlah dengan menyebut nama Allah,” sabda beliau kepada sahabat, dan beliau pun turut makan bersama mereka. Aku kembali berbisik ‘Demi Allah, inilah tanda-tanda yang kedua, bahwa ia bersedia menerima hadiah.’
Setelah itu  aku pulang dan tinggal ditempatku setelah beberapa lama. Kemudian aku pergi mencari Rasulullah saw., dan berjumpa di Baqi’, saat sedang mengiring jenazah dan dikelilingi oleh sahabat-sahabatnya. Beliau memakai dua lembar kain lebar, yang satu dipakainya untuk sarung dan satu dipakainya untuk baju.
Aku mengucapkan salam kepada beliau dan kemudian menyejajarkan tubuhku di dekat beliau untuk melihat bagian atas punggungnya. Ternayat beliau memahami keinginanku dan menyingkap kain burdah beliau dari lehernya hingga tampak pada pundaknya tanda yang kucari, yaitu cap kenabian seperti disebutkan  oleh pendeta dulu. Aku pun langsung membalikkan badan dan menciuminya sambil menangis.
Kemudian Rasulullah saw., memanggilku. Akku duduk di hadapan beliau dan  menceritakan kisahku seperti yang telah kuceritakan tadi. Kemudian aku masuk Islam, dan perbudakan menjadi penghalang bagiku untuk menyertai Perang Badar dan Uhud.
Suatu hari, Rasulullah saw.,  bersabda kepdaku, ‘Mintalah keapda majikanmu agar ia bersedia membebaskanmu dengan menerima uang tebusan.’ Aku pun meminta kepada majikanku agar aku dibebaskan sebagaimana dititahkan oleh Rasulullah saw., sedangkan beliau menyuruh para sahabat untuk membantuku dalam persoalan keuuangan. Akhirnya, aku dimerdekakan oleh Allah, dan hidup sebagai seorang muslim yang bebsa merdeka, serta mengambil bagian bersama Rasulullah saw., dalam perang Khandaq dan peperangan selanjutnya.”

Begitulah saudaraku. Kisah tentang perjalanan Salman Al-Farisi yang kami ambil dari buku Biografi 60 Sahabat Nabi. Kisah ini disebutkan di dalam Ath-Thabaqat Al-Kubra, Ibnu Sa’ad, juz IV.
Jika kalian penasaran mengenai kisah-kisah para sahabat Rasulullah saw., yang lainnya, kalian bisa membacanya pada buku tersebut di toko buku kesayangan kalian.
Semoga kisah yang kami berikan tadi dapat memberikan pelajaran dan menambah keimanan kita semua. Aamiin.


Sumber :


Khalid, Khalid Muhammad. 2015. Biografi 60 Sahabat Nabi. Jakarta. Ummul Qura.

0 komentar:

Posting Komentar

Next Prev
▲Top▲